laa tahzan innallaha ma'aanaa

Sabtu, 10 Desember 2011

Ciliwung Today

Sinar matahari pagi memantul di atas permukaan air Sungai Ciliwung yang berwarna kecoklatan di hari yang cerah ini.

Aroma wangi segar rumput liar yang tumbuh di pinggir sungai serta bau tanah basah  dan embun di dedaunan yang diguyur hujan tadi malam tak sempat tercium oleh batang hidung kami. Sungguh tragis! Aroma alami milik alam ternyata harus kalah dan menyerah pada bau busuk  tumpukan sampah hasil limbah manusia. Lintasannya yang membelah Kota Jakarta, membuat Ciliwung harus mendukung beban kian berat yang ditimbulkan manusia Ibu Kota yang kian lama kian padat.

Alam sesungguhnya bersahabat dengan manusia. Namun agaknya manusia mengabaikan persahabatan yang ditawarkan alam. Manusia mencemarkan alam dengan tumpukan sampah.Ia kini tak lagi menjadi sahabat bahkan seakan manusia memusuhi alam. Hitam disana awalnya putih disinimerah pekat di hilir awalnya bening indah di hulu.

Di belukar di kiri kanan Ciliwung ada pohon "bukitan” botol plastik, perca kain tua, dan kantong plastik yang berisi sampah. Semuanya menumpuk,setelah dilemparkan si pembuang sampah dari atas tebing bantaran.
Di antara tumpukan sampah di tepi sungai juga dijumpai kasur dan sofa bekas. Pun ada potongan tiang pancang yang tampaknya sengaja digulirkan dari tepi jalan.
Bagi sebagian orang, terutama bagi warga yang bermukim di kedua sisi bantaran sungai, tidak ada masalah dengan keadaan Ciliwung seperti itu. Sungai tetap menjadi andalan bagi kehidupan mereka. Air sungai di banyak tempat dipakai untuk mencuci pakaian dan mandi. Panci, piring, dan sendok dibasuh dengan air itu.Bahkan mereka lebih memilih membuang sampah di sungai yang telah menjadi andalan kehidupan mereka tersebut.Hal ini dikarenakan mereka akan lebih hemat biaya jika membuang sampah ke sungai daripada membayar tukang sampah keliling.